home | sekilas | walimah | doa | senerai | hikmah |
Wawasan Al-Qur'an
Bab Pernikahan
oleh Dr. M. Quraish Shihab, M.A.
PERNIKAHAN (3/3) Untuk menguatkan ikrar, maka serah terima itu dalam pandangan Imam Syafi'i tidak sah kecuali jika menggunakan apa yang diistilahkan oleh Nabi Saw. dengan Kalimat Allah, yaitu dengan sabdanya: "Hubungan seks kalian menjadi halal atas dasar kalimat Allah." Kalimat Allah yang dimaksud adalah kedua lafaz (kata) nikah dan zawaj (kawin) yang digunakan Al-Quran. Imam Malik membolehkanjuga kata "memberi" sebagai terjemahan dari kata wahabat sebagaimana disinggung pada pendahuluan. Ulama-ulama ini tidak menilai sah lafaz ijab dan kabul yang mengandung "kepemilikan", "penganugerahan", dan sebagainya, karena kata-kata tersebut tidak digunakan Al-Quran sekaligus tidak mencerminkan hakikat hubungan suami istri yang dikehendaki oleh-Nya. Hubungan suami istri bukanlah hubungan kepemilikan satu pihak atas pihak lain, bukan juga penyerahan diri seseorang kepada suami, karena itu sungguh tepat pandangan yang tidak menyetujui lafaz mahabat (penganugerahan) digunakan dalam akad pernikahan. Hubungan tersebut adalah hubungan kemitraan yang diisyaratkan oleh kata zauwj yang berarti pasangan. Suami adalah pasangan istri, demikian pula sebaliknya. Kata ini memberi kesan bahwa suami sendiri belum lengkap, istri pun demikian. Persis seperti rel kereta api, bila hanya satu re1 saja kereta tak dapat berjalan, atau katakanlah bagaikan sepasang anting di telinga, bila hanya sebelah maka ia tidak berfungsi sebagai perhiasan. Mengawinkan pria dan wanita adalah menghimpunnya dalam satu wadah perkawinan, sehingga wajar jika upaya tersebut dilukiskan oleh Al-Quran dengan menggunakan kata "menikah" yang pengertian kebahasaannya seperti dikemukakan pada pendahuluan adalah "menghimpun". Bahwa Al-Quran menggunakan kata wahabat khusus kepada Nabi Saw. adalah merupakan satu hal yang wajar, karena siapa pun dari umatnya wajar untuk melebur keinginannya demi kepentingan Nabi Saw. Demi Allah, kalian tidak beriman (secara sempurna) sampai patuh keinginan hati kalian terhadap apa yang kusampaikan. Demikian sabda Nabi Saw. Dalam kesempatan yang lain Nabi bersabda: Salah seorang di antara kamu tidak beriman, sehingga dia mencintai aku lebih dari cintanya terhadap orang tuanya, anaknya dan seluruh manusia (Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim melalui Anas bin Malik). Makna ini sejalan dengan firman Allah, Nabi (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang Mukmin dari pada diri mereka sendiri (QS Al-Ahzab [33]: 6). Itulah Kalimat Allah dalam hal sahnya perkawinan; kalimat itu sendiri menurut Al-Quran: Te1ah sempurna sebagai kalimat yang benar dan adil, dan tidak ada yang dapat mengubah kalimat-kalimat-Nya (QS Al-An'am [6]: 115). "Dia penuh kebajikan" (QS Al-A'raf [7]: 137), lagi "Dan kalimat Allah itulah yang Mahatinggi" (QS Al-Tawbah [9): 40). Dengan kalimat itulah Allah menganugerahkan kepada Nabi Zakaria yang telah berusia lanjut, lagi istrinya mandul, "seorang anak bernama Yahya yang menjadi panutan, pandai menjaga diri, serta menjadi Nabi" (QS Ali 'Imran [3]: 39). Dengan kalimat itu Allah menciptakan Isa a.s. tanpa ayah, dan diakuinya sebagai "seorang terkemuka di dunia dan di akherat, serta termasuk orang-orang yang didekatkan kepada Allah" (QS Ali 'Imran [3]: 45). Serah terima perkawinan dilakukan dengan kalimat Allah yang sifatnya demikian, agar calon suami dan istri menyadari betapa suci peristiwa yang sedang mereka alami. Dan dalam saat yang sama mereka berupaya untuk menjadikan kehidupan rumah tangga mereka dinaungi oleh makna-makna kalimat itu: kebenaran, keadilan, langgeng tidak berubah, luhur penuh kebajikan, dan dikaruniai anak yang saleh, yang menjadi panutan, pandai menahan diri, serta menjadi orang terkemuka di dunia dan di akhirat lagi dekat kepada Allah. TALI-TEMALI PEREKAT PERNIKAHAN Cinta, mawaddah, rahmah dan amanah Allah, itulah tali temali ruhani perekat perkawinan, sehingga kalau cinta pupus dan mawaddah putus, masih ada rahmat, dan kalau pun ini tidak tersisa, masih ada amanah, dan selama pasangan itu beragama, amanahnya terpelihara, karena Al-Quran memerintahkan, Pergaulilah istri-istrimu dengan baik dan apabila kamu tidak lagi menyukai (mencintai) mereka (jangan putuskan tali perkawinan), karena boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu tetapi Allah menjadikan padanya (di balik itu) kebaikan yang banyak (QS Al-Nisa' [4]: l9). Mawaddah, tersusun dari huruf-huruf m-w-d-d-, yang maknanya berkisar pada kelapangan dan kekosongan. Mawaddah adalah kelapangan dada dan kekosongan jiwa dari kehendak buruk. Dia adalah cinta plus. Bukankah yang mencintai, sesekali hatinya kesal sehingga cintanya pudar bahkan putus. Tetapi yang bersemai dalam hati mawaddah, tidak lagi akan memutuskan hubungan, seperti yang bisa terjadi pada orang yang bercinta. Ini disebabkan karena hatinya begitu lapang dan kosong dari keburukan sehingga pintu-pintunya pun telah tertutup untuk dihinggapi keburukan lahir dan batin (yang mungkin datang dari pasangannya). Begitu lebih kurang komentar pakar Al-Quran Ibrahim Al-Biqa'i (1480 M) ketika menafsirkan ayat yang berbicara tentang mawaddah. Rahmah adalah kondisi psikologis yang muncul di dalam hati akibat menyaksikan ketidakberdayaan sehingga mendorong yang bersangkutan untuk memberdayakannya. Karena itu dalam kehidupan keluarga, masing-masing suami dan istri akan bersungguh-sungguh bahkan bersusah payah demi mendatangkan kebaikan bagi pasangannya serta menolak segala yang mengganggu dan mengeruhkannya. Al-Quran menggarisbawahi hal ini dalam rangka jalinan perkawinan karena betapapun hebatnya seseorang, ia pasti memiliki kelemahan, dan betapapun lemahnya seseorang, pasti ada juga unsur kekuatannya. Suami dan istri tidak luput dari keadaan demikian, sehingga suami dan istri harus berusaha untuk saling melengkapi. Istri-istri kamu (para suami) adalah pakaian untuk kamu, dan kamu adalah pakaian untuk mereka (QS Al-Baqarah [2]: 187). Ayat ini tidak hanya mengisyaratkan bahwa suami-istri saling membutuhkan sebagaimana kebutuhan manusia pada pakaian, tetapi juga berarti bahwa suami istri --orang masing-masing menurut kodratnya memiliki kekurangan-- harus dapat berfungsi "menutup kekurangan pasangannya". sebagaimana pakaian menutup aurat (kekurangan) pemakainya. Pernikahan adalah amanah, digarisbawahi oleh Rasul Saw. dalam sabdanya, Kalian menerima istri berdasar amanah Allah. Amanah adalah sesuatu yang diserahkan kepada pihak lain disertai dengan rasa aman dari pemberinya karena kepercayaannya bahwa apa yang diamanatkan itu, akan dipelihara dengan baik, serta keberadaannya aman di tangan yang diberi amanat itu. Istri adalah amanah di pelukan suami, suami pun amanat di pangkuan istri. Tidak mungkin orang tua dan keluarga masing-masing akan merestui perkawinan tanpa adanya rasa percaya dan aman itu. Suami --demikian juga istri-- tidak akan menjalin hubungan tanpa merasa aman dan percaya kepada pasangannya. Kesediasn seorang istri untuk hidup bersama dengan seorang lelaki, meninggalkan orang-tua dan keluarga yang membesarkannya, dan "mengganti" semua itu dengan penuh kerelaan untuk hidup bersama lelaki "asing" yang menjadi suaminya, serta bersedia membuka rahasianya yang paling dalam. Semua itu merupakan hal yang sungguh mustahil, kecuali jika ia merasa yakin bahwa kebahagiannnya bersama suami akan lebih besar dibanding dengan kebahagiaannya dengan ibu bapak, dan pembelaan suami terhadapnya tidak lebih sedikit dari pembelaan saudara-saudara sekandungnya. Keyakinan inilah yang dituangkan istri kepada suaminya dan itulah yang dinamai Al-Quran mitsaqan ghalizha (perjanjian yang amat kokoh) (QS Al-Nisa' [4): 21). SUAMI ADALAH PEMIMPIN KELUARGA Keluarga, atau katakanlah unit terkecil dari keluarga adalah suami dan istri, atau ayah, ibu, dan anak, yang bernaung di bawah satu rumah tangga. Unit ini memerlukan pimpinan, dan dalam pandangan Al-Quran yang wajar memimpin adalah bapak. Kaum lelaki (suami) adalah pemimpin bagi kaum perempuan (istri) (QS Al-Nisa' [4]: 34). Ada dua alasan yang dikemukakan lanjutan ayat di atas berkaitan dengan pemilihan ini, yaitu: a. Karena Allah melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain, dan b. Karena mereka (para suami diwajibkan) untuk menafkahkan sebagian dari harta mereka (untuk istri/keluarganya). Alasan kedua agaknya cukup logis. Bukankah di balik setiap kewajiban ada hak? Bukankah yang membayar memperoleh fasilitas? Adapun alasan pertama, maka ini berkaitan dengan faktor psikis lelaki dan perempuan. Sementara psikolog berpendapat bahwa perempuan berjalan di bawah bimbingan perasaan, sedang lelaki di bawah pertimbangan akal. Walaupun kita sering mengamati bahwa perempuan bukan saja menyamai lelaki da1am hal kecerdasan, bahkan terkadang melebihinya. Keistimewaan utama wanita adalah pada perasaannya yang sangat halus. Keistimewaan ini amat diperlukan dalam memelihara anak. Sedang keistimewaan utama lelaki adalah konsistensinya serta kecenderungannya berpikir secara praktis. Keistimewaan ini menjadikan ia diserahi tugas kepemimpinan rumah tangga. Para istri mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang makruf akan tetapi para suami mempunyai satu derajat kelebihan atas mereka (para istri)". (QS A1-Baqarah [2]: 228). Derajat itu adalah kelapangan dada suami terhadap istrinya untuk meringankan sebagian kewajiban istri. Karena itu, tulis Syaikh Al-Mufasirin (Guru besar para penafsir) Imam Ath-Thabari, "Walau ayat ini disusun dalam redaksi berita, tetapi maksudnya adalah anjuran bagi para suami untuk memperlakukan istrinya dengan sifat terpuji, agar mereka dapat memperoleh derajat itu." Imam Al-Ghazali menulis, "Ketahuilah bahwa yang dimaksud dengan perlakuan baik terhadap istri, bukanlah tidak mengganggunya, tetapi bersabar dalam kesalahannya, serta memperlakukannya dengan kelembutan dan maaf, saat ia menumpahkan emosi dan kemarahannya." "Keberhasilan perkawinan tidak tercapai kecuali jika kedua belah pihak memperhatikan hak pihak lain. Tentu saja hal tersebut banyak, antara lain adalah bahwa suami bagaikan pemerintah, dan dalam kedudukannya seperti itu, dia berkewajiban untuk memperhatikan hak dan kepentingan rakyatnya (istrinya). Istri pun berkewajiban untuk mendengar dan mengikutinya, tetapi di sisi lain perempuan mempunyai hak terhadap suaminya untuk mencari yang terbaik ketika melakukan diskusi." Demikian lebih kurang tulis Al-Imam Fakhruddin Ar-Razi. Sekali lagi, kepemimpinan tersebut adalah keistimewaan tetapi sekaligus tanggung jawab yang tidak kecil. Kalau titik temu dalam musyawarah tidak diperoleh, sehingga keretakan hubungan dikhawatirkan terjadi, maka barulah keluar kamar menghubungi orang-tua atau orang yang dituakan untuk meminta nasihatnya, atau bahkan barulah diharapkan campur tangan orang bijak untuk menyelesaikannya. Dalam konteks ini Al-Quran berpesan, Jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka utuslah seorang hakam (juru damai) dari keluarga laki-laki, dan seorang hakam dari ke1uarga perempuan. Jika keduanya (suami istri dan para hakam) ingin mengadakan perbaikan, niscapa Allah memberi bimbingan kepada keduanya (suami istri). Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal (QS Al-Nisa' [4]: 35). TUJUAN PERKAWINAN Sepintas boleh jadi ada yang berkata, apalagi muda mudi, bahwa "pemenuhan kebutuhan seksual merupakan tujuan utama perkawinan, dan dengan demikian fungsi utamanya adalah reproduksi". Benarkah demikian? Baiklah terlebih dahulu kita menggarisbawahi bahwa dalam pandangan ajaran Islam, seks bukanlah sesuatu yang kotor atau najis, tetapi bersih dan harus selalu bersih. Mengapa kotor, atau perlu dihindari, sedang Allah sendiri yang memerintahkannya secara tersirat melalui law of sex, bahkan secara tersurat antara lain dalam surat Al-Baqarah (2): 187, Allah mengetahui bahwa kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka (istri-istrimu), dan carilah apa yang ditetapkan Allah untukmu. Dalam ayat lain Allah berfirman: Istri-istri kamu adalah ladang (tempat bercocok tanam) untukmu, maka datangilah (garaplah) ladang kamu bagaimana~ saja kamu kehendaki (QS Al-Baqarah [2]: 223). Karena hubungan seks harus bersih, maka hubungan tersebut harus dimulai dan dalam suasana suci bersih; tidak boleh dilakukan dalam keadaan kotor, atau situasi kekotoran. Karena itu, Rasulullah Saw. menganjurkan agar berdoa menjelang hubungan seks dimulai. Beberapa ayat Al-Quran sangat menarik untuk direnungkan dalam konteks pembicaraan kita ini adalah: (Allah) Pencipta langit dan bumi. Dia menjadikan bagi kamu dan jenis kamu sendiri pasangan-pasangan, dan dan jenis binatang ternak pasangan-pasangan pula, dijadikan-Nya kamu berkembang biak dengan cara itu ... Tidak ada sesuatu pun yang serupa denan Dia, dan Dia Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat" (QS Al-Syura [42]: 11). Binatang ternak berpasangan untuk berkembang biak, manusia pun demikian, begitu pesan ayat di atas. Tetapi dalam ayat di atas tidak disebutkan kalimat mawaddah dan rahmah, sebagaimana ditegaskan ketika Al-Quran berbicara tetang pernikahan manusia. Di antara tanda-tanda (kebesaran dan kekuasaan) Allah adalah Dia menciptakan dari jenismu pasangan-pasangan agar kamu (masing-masing) memperoleh ketenteraman dari (pasangan)-nya, dari dijadikannya di antara kamu mawaddah dan rahmah. Sesungguhnya yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kamu yang berpikir (QS Al-Rum [30]: 21). Mengapa demikian? Tidak lain karena manusia diberi tugas oleh-Nya untuk membangun peradaban, yaitu manusia diberi tugas untuk menjadi khalifah di dunia ini. Cinta kasih, mawaddah dan rahmah yang dianugerahkan Allah kepada sepasang suami istri adalah untuk satu tugas yang berat tetapi mulia. Malaikat pun berkeinginan untuk melaksanakannya, tetapi kehormatan itu diserahkan Allah kepada manusia. Demikian sekilas pandangan Al-Quran tentang pernikahan, tentu saja lembaran kecil ini tidak menggambarkan secara sempurna wawasan Kitab Suci itu, namun paling tidak apa yang dikemukakan di atas diharapkan dapat memberikan gambaran umum. Semoga.[] CATATAN KAKI 1 Kata utuw, dalam berbagai bentuknya terulang didalam Al-Quran sebanyak 32 kali. Al-Quran menggunakannya untuk anugerah yang agung berupa ilmu atau Kitab Suci. 2 Mahmud Syaltut l959: 253. ---------------- WAWASAN AL-QURAN Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat Dr. M. Quraish Shihab, M.A. Penerbit Mizan Jln. Yodkali No.16, Bandung 40124 Telp. (022) 700931 Fax. (022) 707038 mailto:mizan@ibm.net |